Masjid agung Banten yang menaranya mirip mecusuar yang dibangun sekitar abad ke - 16 dibangun oleh Hendrick Lucazoon cardel ( orang belanda pelarian dari Batavia yang masuk Islam) |
Untuk mengidentifikasi budaya Banten kita dapat menelusuri melalui
produk- produk kesusateraan (naskah-naskah, babad, dan buku –buku keagamaan),
maupun dari folkloryang masih hidup dalam ingatan masyarakat yang dituturkan
kelompok sub-etnis Banten serta warisan budaya material ( culture heritage )
dalam arti luas. Yang termasuk kategori warisan budaya Banten adalah karya
arsitektur, tekhnologi, kesenian, dan sebagainya.
Geografis
Wilayah Banten terletak di antara
5º7'50"-7º1'11" Lintang Selatan dan
105º1'11"-106º7'12" Bujur Timur, berdasarkan Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2000 luas wilayah Banten adalah 9.160,70
km². Provinsi Banten terdiri dari 4 kota, 4 kabupaten,
154 kecamatan, 262 kelurahan, dan 1.273 desa.
Tinjauan budaya Banten
Masyarakat dan budaya Banten terutama dengan alam dan budaya
Islamnya mungkin hanya dapat dikenali dengan merunut kembali peristiwa sejarah
transformasi pusat administratif politik dari Banten Girang di pedalaman yang
berada di bawah subordinasi Pakuan-Pajajaran yang Hinduistik ke daerah Pantai
yang sekarang dikenal dengan nama Banten Lama. Peristiwa transformatif tersebut
berlangsung pada tahun 1926 oleh Syarif Hidayatullah dan Maulana Hasanudin.
Sejak saat itu masyarakat dan budaya Banten embrio dan fondasinya
telah diletakan dan ditetapkan dalam format yang berciri ke-Islaman. Sumber –
sumber sejarah (Miksic, 1986) memperlihatkan fase- fase awal, lanjut, dan
akhirnya surutnya tamaddun Banten dari panggung sejarah antara lain karena
kolonialisme dapat diruntut dalam fase- fase berikut :
1.
Fase
Pra- Sunda Islam ( 1400-1525)
pada masa itu banten merupakan kerajaan Pakuan Pajajaran yang Hinduistis, yang
pusat administratif politiknya berada di Banten Girang ( kota Serang sekarang)
2.
Fase
Awal Penyebaran Islam (1525 – 1619),
suatu fase dimana Islam disebarkan oleh Sunan Gunung Jati dari Cirebon dan
Maulana Hasanudin yang beraliansi dengan Demak, terjadi transformasi keadaan, perpindahan
pusat pemerintahan, dan mulai berkembangnya pelabuhan Banten sebagai alternatif
Malaka. Arsitektur dan monumental berciri Islam, menyebabkan tumbuh dan
ramainya perdagangan.
3.
Fase
Keseimbangan Kekuatan, pada fase
tanpa adidaya ini seluruh kekuatan yang hadir dan berniaga di Banten memiliki kekutan yang seimbang ( armada dagang Eropa,
kesultanan Banten, Cirebon, Batavia, dan Mataram) berlangsungnya penyerangan
Banten ke Batavia, blokade Belanda atas teluk Banten, tumbuh kuatnya kekuasaan
Sultan Ageng Tirtayasa, pulihnya tingkat kemakmuran Banten dan sebagainya.
Banten mencapai puncak ketinggian budaya/ tamaddun Islam
4. Fase
Penguasaan VOC/ Belanda, pendirian
benteng Speelwijk yang langsung/ tidak langsung memperlihatkan wujud hubungan
antara Banten dan VOC, masih berkembangnya “kota” Surosowan” dan lain- lain.
5.
Fase
surut dan Jatuhnya Kesultanan Banten, Hindia
Belanda kena imbas perang Napoleonik / Rep. Batavia, interval penguasaan
Inggris ( 1811- 1816 ), pemindahan administrasi politik ke Serang, Surosowan
dihancurkan, didirikan keraton Kaibon dan dipecahnya bekas wilayah kesultanan
Banten menjadi 3 daerah setara kabupaten ( Banten Hulu, Banten Hilir dan Anyer
), pada tahun 1809 pembuatan jalan Daendels.
6.
Fase
Mutaakhir, setelah Kesultanan Banten dihapuskan
oleh Belanda timbul berbagai pergolakan, pemberontakan, dan perlawanan rakyat
dipimpin oleh para ulama/ bangsawan, bencana alam (meletusnya krakatau dan
wabah penyakit sampar), pendudukan Jepang, perang kemerdekaan sampai sekarang
memperoleh masa pembangunan.
Dibalik semua kilas balik sejarah
ini, hal yang tetap hidup dan terus mengakar pada masyarakat Banten adalah segi
kultur Islam yang terus hidup. Pesantren terus menerus menghasilkan kader dan
para ulama tetap berdakwah. Rakyat mulai mengarahkan orientasi dari
kepemimpinan raja/ sultan/ para ulama/ mubaligh/ kiya’i/. Dalam situasi seperti
ini, bermula dari pertumbuhan Islam di Banten, budaya Pesisiran dan budaya
“pedalaman” di daerah selatan Banten ( kecuali daerah Baduy) terus memantapkan
ke-Islam-annya.
Perubahan budaya Banten terhadap Islam
Dalam arus perubahan global akhir akhir ini, tidak bisa tidak,
budaya dan Masyrakat Banten, suka tidak suka, disesak kearah persimpangan, yang
salah satunya harus dipilih. Budaya dan masyarakat Banten memang pernah
diluluhlantahkan oleh pemerintahan kolonial Belanda dan fasisme Jepang. Pada
beberapa fase rakyat yang dipimpin para kya’i/ ulama unjuk rasa dalam bentuk
pergolakan / perlawanan berskala kecil, terbatas, jangka pendek dan mudah
dieleminir. Pergeseran-pergeseran tersebut bermuara pada terubahnya pola pola
interaksi dalam eksploitasi lahan beserta simbol- simbol pembenarannya.
Budaya dan masyarakat Banten “memerlukan” hal-hal baru, masalah
baru dan solusi-solusi baru, sehingga mampu menyimak dan mengantisipasi
kendala, tantangan dan peluang peluang baru dalam arus deras pembangunan.
Kemudian setelah berhasil diidentifikasi budaya Banten yang
bercorak ke-Islam-an, yang pada dasarnya memiliki tekanan terhadap prespektif
masa lampau, padahal masa kini dihadapkan
dengan situasi yang serba kompleks sebagai dampak kemajuan pembangunan, ilmu
pengetahuan dan tekhnologi. Akankah rekonstruksi budaya Banten mampu dan
berdaya guna tinggi untuk menghadapi kompleksitas tersebut. Pemahaman
dekonstruksi (memilah dan mengatur ulang) budaya Banten dipadankan terhadap
dinamika dan karisma para kya’i/ ulama/ pemimpin spiritual Islam, untuk bersama
samam menumbuhkan komitmen, dan kreatif serta etos kerja menggarap dan
mencermati tema-tema sentral pembangunan.
Penutup
Pada Akhirnya sampai pada ujung tuturan. Budaya Banten yang
dikembangkan oleh sub-etnis Banten Pesisiran dan sub-etnis Sunda Banten Selatan
di pedalaman, secara bersama, memperlihatkan hasil interaksi, ubahan dan
gubahan konsep- konsep islam yang diadaptasikan terhadap budaya budaya
lokalnya. Apabila ini disepakati, maka hal tersebut bukanlah satu paduan yang
harus dituding sebagai sinkretisasi islam dalam konteks Sunda atau Jawa pada
umumnya. Interaksi, ubahan dan gubahan sebagai proses mekanisme adaptasi islam
di Banten sama sekali tidak merubah esensi tauhid dan keimanan. Yang terjadi
adalah ‘penyesuaian- penyesuaian lokal’ terhadap aspek-aspek budaya material,
khususnya dalam hubungan antar manusia/ masyarakat dan lingkungannya.
Sumber :
Mahasin, Aswab (1966). Ruh Islam dalam budaya bangsa, Aneka budaya di Jawa, Jakarta, Yayasan Festival Istiqlal, Bina Rena Pariwara hlm.115-128
mantap lanjut dan teruz berkarya untuk indonesia ber ke adaban
BalasHapusiya mas terimakasih.. inn Syaa Allah
BalasHapus